02 09 44

Kamis, 10 November 2011

Otonomi Desa: Antara Ada & Tiada

BERSANTAI-Desa merupakan tempat 'terasyik' untuk menikmati waktu luang

DALAM euforia penyelenggaraan otonomi daerah saat ini, masing-masing pemerintah daerah mencoba tampil unggul dibandingkan pemerintah daerah lainnya. Semua kekayaan dan potensi yang dimiliki coba dikembangkan dengan semaksimal mungkin. Air, tanah, pertanian, hingga tradisi masyarakat setempat menjadi obyek optimalisasi otonomi daerah.

Namun, jika pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota gencar dengan perencananaan pembangunan di daerahnya, sebuah kesatuan masyarakat dengan wilayah tertentu menatap nanar masa depan mereka. Ya. Ialah desa, yaitu "kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia" (pasal 1 poin 12 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah). Kehadiran undang-undang ini awalnya diharapkan memberikan porsi yang jelas bagi desa untuk masuk ke dalam agenda otonomi daerah sebagai sebuah daerah otonom. Kenyataannya, undang-undang tersebut hadir dengan persoalan lain: tidak diakuinya STATUS desa sebagai daerah otonom.

Pertanyaan muncul: bagaimana bisa?

Simak paparan berikut:
  1. Pasal 3 UU 32/2004 menyatakan bahwa pemerintahan daerah adalah a) pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi; b. pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Kita bertanya: desa kemana?
  2. Simak bab XI tentang Desa pasal 200-216. Adakah yang secara TERANG-TERANGAN menyebutkan bahwa desa adalah bagian dari pemerintah daerah atau mempunyai otonomi? Tidak ada.
  3. Apakah dari pasal 200-216 menyatakan bentuk desa, apakah desa adat, desa otonom, atau desa administratif? Tidak ada. Pasal 200 ayat (3) hanya mengatur bahwa status desa secara bertahap dapat diubah menjadi kelurahan dan hal ini sangat ngawur dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Dari tiga hal tersebut, secara cepat kita akan menyebutkan bahwa desa tidak masuk ke dalam kerangka otonomi daerah. Lalu, siapa yang mengatakan bahwa desa masuk bagian pemerintahan daerah? Anda sendiri dapat menyatakan demikian jika menyimak uraian berikut:
  1. Kewenangan desa sebagaimana diatur pasal 206 mencakup:
    a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.
    b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
    c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
    d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa. Simak huruf 'a'! Bukankah itu ciri dari pemerintahan yang otonom dimana pemerintah otonom diberi kewenangan mengatur urusan yang sejatinya merupakan urusannya? Di sana berlaku asas desentral-isasi. Satu bukti otonomi desa kita temukan.
  2. Pasal 203 ayat (1), "Kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah." Di sini desa diberi otonomi di bidang politik oleh undang-undang.
  3. Jika berkenan, silahkan buka Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 nomor 10 tentang Desa. Pada akhir alinea pertama dan awal alinea kedua, terdapat "...Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, OTONOMI ASLI, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat." dan "Undang-Undang ini MENGAKUI OTONOMI yang DIMILIKI oleh DESA ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa..." Meskipun Penjelasan Undang-Undang bukan bagian dari norma, darinya kita tahu maksud suatu undang-undang timbul dan historikal bagaimana undang-undang tersebut lahir. Di sini bukti keotonomian desa telah "diakui." Masalahnya, kenapa keotonomian tersebut tidak diatur secara tegas dan jelas di dalam batang tubuh undang-undang tersebut? Mengapa desa tidak secara terang dimasukkan ke dalam pemerintahan daerah jika keotonomiannya diakui?
Persoalan otonomi atau tidaknya desa juga diperdebatkan oleh Paramita Iswari dalam tulisan beliau Analisis Klausul-Klausul mengenai Desa dalam UU 32 Tahun 2004 - Menutup Pintu yang Terbuka. Beliau mempertanyakan pengakuan keotonomian desa yang hanya di Penjelasan dimana hal tersebut jelas-jelas bukan suatu norma. Selain itu, menurut beliau, kehadiran undang-undang ini malah menutup jalan bagi desa untuk menjadi wilayah yang otonom. Undang-undang ini sebagai terobosan buruk atas undang-undang sebelumnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jika demikian, bagaimana kepastian desa? Daerah otonom atau bukan? Bagian dari pemerintahan daerah atau bukan?

Persoalan panjang memang jika harus mencari status asli dari desa kaitannya dengan kedudukannya dalam pemerintahan daerah. Perdebatan panjang dan melelahkan pasti akan berkutat di antara argumen-argumen di atas. Menurut saya, desa ada baiknya diklasifikasikan ke dalam pemerintahan daerah meskipun secara formil undang-undang tidak mempertegasnya. Alasan mengapa perlu desa dimasukkan ke dalam otonomi daerah ada begitu banyak. Pada kesempatan ini, saya akan mengajukan argumentasi beberapa item saja.

Pertama, kehadiran desa sebagai suatu kesatuan masyarakat yang jauh ada sebelum negara kita merdeka. Desa, disadari atau tidak, merupakan bagian terkecil kekuasaan yang mandiri, yang menyusun NKRI. Desa menjadi bagian hidup kita. Di kota, ada desa (julukannya Kelurahan). Di kecamatan, ada desa. Di Bali, ada bentuk desa yang khas yaitu desa adat yang otonominya asli dari desa tersebut, bukan otonomi pemberian sebagaimana sistem otonomi daerah kita. Ditinjau dari sudut pandang historis tersebut, apakah layak meninggalkan desa tanpa otonomi sementara kesatuan-kesatuan wilayah yang terbentuk darinya, kabupaten, kota, hingga provinsi telah diberikan kewenangan untuk itu? Persoalan keterbatasan SDM di desa akan dapat diatasi apabila desa diberi celah untuk mencari jalan bagi persoalan tersebut. Salah satunya adalah memberikan otonomi untuk membangun wilayahnya sendiri. Jika kewenangan itu tidak diberikan, bagaimana desa akan berkembang sementara yang tahu arah perkembangan desa tersebut hanyalah desa itu sendiri?

Kedua, pemercepatan pembangunan di daerah. Cara berpikir sederhana. Jika kita diberi 1000 orang anak buah dengan kita sendiri, satu orang, sebagai pemimpin, bagaimana menurut Anda? Sanggupkah? Selanjutnya, bagaimana jika dari 1000 orang tersebut kita bagi menjadi 20 kelompok, masing-masing 50 orang. Dari tiap-tiap kelompok, kita angkat 1 orang sebagai ketua kelompok. Suatu hari, diadakan perburuan mammoth (ilustrasi jaman prasejarah. Lihat film 10000 BC). Lebih mudah mana mengkoordinasikan 1000 orang langsung di bawah kita dengan mengkoordinasikan 20 ketua kelompok yang akan berkoordinasi dengan tiap-tiap anggota kelompoknya? Begitu pula dengan desa. Jika kabupaten/kota dibebani urusan untuk mempercepat pembangunan perekonomian 1000 desa di wilayahnya, dengan 1000 persoalan perencanaan pembangunan yang menyesuaikan kondisi setiap daerah, ditambah 1000, 1000, dan seribu-seribu hal lainnya terkait dengan pemberdayaan desa, tidak pusingkah? Karena itu harus dibentuk desa dengan pemerintahan yang otonom, yang dapat memberdayakan masyarakatnya sendiri menurut aspirasi dan prakarsa mereka sendiri. Bukankah bekerja dengan otak dan tangan sendiri lebih enak daripada dibonekai oleh orang lain?

Ketiga, dilihat dari perspektif pengaturan di undang-undang terbaru, memang secara formil desa tidak dipertegas kedudukannya sebagai daerah otonom. Namun, dari pengaturan dan kewenangan yang ada, secara tersirat desa memiliki keotonomian tersebut dan diakomodasi penerapannya. Dalam Penjelasan hal tersebut dterangkan secara jelas. Dengan demikian, jika ditinjau dari sudut pandang hukum secara sosiologis (hukum dilihat menurut kebutuhan di masyarakat), desa harus dimasukkan ke dalam bagian pemerintahan daerah meskipun hanya "bayangan hitam bebatuan gunung."

Keempat, masih terkait dengan alasan ketiga, bahwa masyarakat di daerah banyak membutuhkan desa mereka sebagai desa yang otonom. Dengan demikian, mereka dapat mengembangkan imajinasi-kreatifitas pembangunan mereka secara leluasa tanpa terkendala birokrasi yang ada (keberadaan sekdes sebagai PNS yang diangkat sekda menjadi rintangan bagi kepala daerah untuk menjalankan otoritasnya sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif di desa). Dengan keotonomian desa, maka desa tidak perlu lagi terganjal birokrasi dalam menata desanya karena telah ada kewenangan yang luas untuk penataan dan pemberdayaan tersebut.

Terakhir, perlunya otonomi desa disebabkan kerentatan wilayah kita saat ini sebagai markas-markas dan pembibitan gerakan-gerakan separatis. Desa sebagai lapisan paling bawah yang banyak berhubungan dengan masyarakat merupakan benteng paling fundamental yang dapat mencegah lahirnya suatu gerakan separatis. Dan gerakan itu lahir antara lain karena adanya ketimpangan dari segi pendapatan dan kesejahteraan sehingga menimbulkan gejolak konflik yang berbuntut pada aksi-aksi seperti GAM di masa lalu dan OPM di Papua. Dengan adanya otonomi, diharapkan desa mampu mengembangkan dan memberdayakan dirinya sendiri dengan sedikit bantuan dari pemerintahan di atasnya. Dengan begitu, desa dapat tumbuh menjadi kesatuan masyarakat yang kuat dan tangguh di segala bidang, khususnya ekonomi, politik, dan religiusitas sebagai benteng dari kemerosotan moral.

Kelima hal tersebut merupakan alasan mengapa desa perlu dikategorikan sebagai pemerintahan daerah. Lepas dari statusnya saat ini, mari kita beranalogi seperti berikut ini.

Anda, laki-laki ataupun perempuan, mempunyai seorang teman spesial yang berlainan jenis. Jika Anda laki-laki, teman Anda itu perempuan. Begitu pun sebaliknya. Antara Anda dan dia tidak terjalin hubungan asmara. Tidak pacaran, apalagi suami-istri. Anehnya, dalam keseharian pergaulan Anda berdua begitu intim menyer-upai pasangan yang sedang berpacaran, atau bahkan menikah. Bergandengan tangan, berpelukan, candle light dinnerkissing. Secara STATUS, Anda berdua tidak sedang pacaran dan bukan suami-istri. Secara PRAKTIS dan MATERIIL INTERAKSIONAL, Anda berdua seperti pacaran. Menurut orang di sekitar Anda berdua, misal tukang rujak yang kebetulan memergoki Anda berdua sedang pelukan di taman, menyangka Anda berdua adalah pasangan kekasih. Sementara Anda berdua sendiri tahu betul bahwa tidak ada ikatan apapun di antara Anda berdua. Lalu, saya bertanya: apa sebutan untuk Anda berdua? Pacaran atau bukan pacaran? Lalu, apa yang Anda berdua lakukan selama ini? Ditinjau dari kacamata adat ketimuran dan kelaziman hubungan intim? Begitulah desa. Status pemerintahan daerah mereka tak punya, namun "sukma" dari pemerintahan daerah itu sendiri sudah mereka kantongi. Maka, saya berikan kesempatan untuk Anda menjawab sendiri: otonomikah desa itu dan bagian dari pemerintahan daerahkah desa itu?

Selamat merenung!

Sumber:
  • Tulisan

Sri Nuryani, dkk, 2009, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SD/MI Kelas 4, Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Gregorius Sahdan, dkk, Tanpa Tahun, ADD untuk Kesejahteraan Rakyat, Yogyakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa.
C.S.T. Kansil, dkk, 2009, Hukum Administrasi Daerah, Jakarta: Jala Permata Aksara


Paramita Iswari, Analisis Klausul-Klausul mengenai Desa dalam UU 32 Tahun 2004: Menutup Pintu yang Terbuka, Essay disajikan dalam diskusi ”Men-duduk-an Otonomi Asli dengan Memanfaatkan Momentum Politik ’Otonomi Daerah’ dalam rangka Penataan Ulang Relasi Negara dengan Masyarakat Adat”, Aliansi Masya-rakat Adat Kalimantan Barat, Hotel Merpati-Pontianak, 16 Maret 2005.
Solly Lubis, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Makalah disajikan Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII bertema “Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Dadang Solihin, Strategi Perencanaan Desa, Presentasi disajikan di Central Hotel-Jakarta, BPMPK Kabupaten Kutai Barat, 24 Juni 2011.
Achmad  Nurmandi, Otonomi Desa di Indonesia: Otonomi Asli atau Tidak Asli Lagi?, Tanpa Tempat dan Tahun.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


Denny Noviansyah, 2007, Pemerintahan Desa (Online), http://dhenov.blogspot.com/2007/12/pemerintahan-desa.html, diakses tanggal 22 Oktober 2011.
Irul Hamdani, 2009, Ramadan, Awe-Awe di Jalur Gumitir Membludak (Online), http://ramadan.detik.com/read/2009/09/02/110030/1194569/631/ramadan-awe-awe-di-jalur-gumitir-membludak?browse=frommobile, diakses tanggal 7 November 2011.
As Rul, 2010, Hambatan Mengotonomi Desa (Online), http://birokrasi.kompasiana.com/ 2010/07/30/hambatan-meng%E2%80%9Dotonomi%E2%80%9Dkan-desa/, diakses tanggal 23 Oktober 2011.
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, 2010, Menimbang Kembali “Desa” dalam Tantangan Globalisasi: Perspektif Mahasiswa HI (Online), http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/16/menimbang-kembali-desa-dalam-tantangan-globalisasi-perspektif-mahasiswa-hi/, diakses tanggal 23 Oktober 2010
Sutiyo, 2010, Otonomi Desa, Agenda Terlupakan (Online), http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/02/27/100395/10/Otonomi-Desa-Agenda-Terlupakan, diakses tanggal 23 Oktober 2011.

  • Gambar
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://yuliatnomath.files.wordpress.com/2010/12/desa.jpg&imgrefurl=http://yuliatnomath.wordpress.com/2010/12/&usg=__aBQ31NvGYSzXM7cvI0v7HocD3co=&h=296&w=421&sz=73&hl=id&start=2&sig2=gVoKaJ2tTcTrEEE4GW1Xug&zoom=1&tbnid=IHKBun45qvR0BM:&tbnh=88&tbnw=125&ei=Oua7TuubHISyrAfgoJGGCQ&prev=/search%3Fq%3Ddesa%26um%3D1%26hl%3Did%26client%3Dopera%26sa%3DN%26rls%3Did%26channel%3Dsuggest%26tbm%3Disch&um=1&itbs=1

Jumat, 01 April 2011

Catatan Kuliah 3


Norma Hukum:
Das Sollen & Das Sein

Hukum, sebagai suatu norma, mengandung unsur perintah dan larangan serta anjuran – anjuran. Norma hukum atau lazim disebut peraturan hukum tidak ubahnya sebagai prasasti, sebagai dokumen jika tidak ada suatu peristiwa yang dapat mengimplementasikan isi dari peraturan hukum tersebut. Pembahasan kali ini akan membincangkan apa itu das Sollen dan das Sein dalam norma hukum.
Undang – undang, sebagai tempat ditemukannya hukum merupakan wadah dimana suatu perintah dan larangan dapat kita temukan. Segala hal – hal yang normatif dapat diperoleh dari teks – teks yang telah dirancang oleh pembuatnya itu. Misal, dalam Pasal 362 KUHP yang mendalilkan : Barang siapa mengambil barang sesuatu, iang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Isi Pasal 362 KUHP tersebut merupakan suatu peraturan hukum, bersifat umum, abstrak, serta pasif. Disebut umum karena peraturan tersebut karena diperuntukkan bagi siapa saja sebagai suatu “ancaman.” Disebut bersifat abstrak karena hanya berupa wacana, tekstual sehingga hanya bersifat normatif. Disebut pasif karena teks tersebut tidak dapat mengikat seseorang karena perbuatan yang didalilkan dalam pasal tersebut tidak ada. Hal – hal inilah yang disebut dengan das Sollen. Lalu, bagaimana dengan das Sein?
Das Sein dapat diartikan sebagai perwujudan dari das Sollen. Jika di suatu tempat didapati seorang sedang mencuri dan diserahkan pada aparat berwenang, maka disinilah das Sein dari norma hukum diketemukan. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya suatu peristiwa pencurian. Peristiwa pencurian ini merupakan peristiwa hukum sehingga norma berupa Pasal 362 KUHP tentang pencurian “berubah wujud”:
1.        Dari semula bersifat UMUM, kini menjadi bersifat KHUSUS karena diterapkan pada seorang pencuri.
2.       Dari semula bersifat ABSTRAK, kini menjadi KONKRIT karena isi peraturan tersebut akan diterapkan pada si pencuri tersebut.
3.       Dari semula bersifat PASIF, kini menjadi AKTIF karena isi peraturan tersebut mengikat dan menjerat pelaku pencurian tersebut, yang penegakannya diserahkan kepada aparatur negara yang berwenang menangani perkara – perkara pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan umum.
Dan adanya peristiwa hukum tersebut menyebabkan hukum menjadi “hidup” karena sudah dengan terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan aturan yang ada dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

KESIMPULAN :

Secara ringkas, antara das Sollen dan das Sein dapat dibedakan sebagai berikut:
NO.
ASPEK
PERBEDAAN
das Sollen
das Sein
01.
Etimologi
Cita – cita, ide
Kenyataan, implementasi
02.
Perwujudan
Peraturan, keharusan
Peristiwa konkrit
03.
Sifatnya terkait dengan Peraturan
Bersifat umum, abstrak, pasif*
Bersifat khusus, konkrit, aktif**


FOOTNOTE :
*              Karena Peraturan adalah das Sollen
**           Karena Peraturan menjerat Peristiwa Hukum yang terjadi

Selasa, 29 Maret 2011

Catatan Kuliah 2


Bentuk – Bentuk Norma

Jika kalian pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar, khususnya kelas 5, guru kita akan sedikit menyinggung kita tentang norma – norma sosial. Ingat atau tidak, norma sosial ada lima, yaitu NORMA AGAMA, NORMA KESOPANAN, NORMA KESUSILAAN, dan NORMA HUKUM.
Norma Agama adalah seperangkat kaidah atau aturan yang asal – muasalnya dari Tuhan dengan diturunkan melalui suatu perantara dan biasanya tertuang dalam suatu kitab suci dimana kaidah tersebut mengatur tentang hal – hal yang harus dilakukan, boleh dilakukan, boleh ditinggalkan atau harus ditinggalkan dan memiliki suatu sanksi berupa dosa bagi pelanggarnya serta hukuman tersebut tertangguh hingga suatu saat tertentu. Misal dalam perspektif Islam. Kaidah dalam Islam berasal dari Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui Jibril dan dibukukan dalam Al-Qur’an. Di dalamnya memuat beberapa aturan, misal tentang kewajiban puasa. Apabila hal ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dikenai dosa dan akan dieksekusikan hukuman tersebut di akhirat setelah kiamat.
Norma Kesopanan adalah seperangkat ketentuan atau kaidah yang berasal dari tata pergaulan suatu masyarakat yang mengatur tentang tata kelakuan anggota masyarakatnya tentang hal – hal yang baik dan buruk serta konsekuensi – konsekuensi sosial bagi setiap pelanggaran. Contoh, masyarakat Indonesia tidak mengenal perilaku ciuman di muka umum. Faktor budaya Timur menjadi alasan budaya Barat tersebut tidak pas dengan pergaulan bangsa Indonesia. Andai kata mereka menyaksikan ada orang Indonesia, laki – laki dan wanita, melakukan hal tersebut (ciuman) di tempat terbuka, misal halte bus, maka tak ayal akan keluar suatu protes dan masyarakat sekitar. Protes – protes ini adalah wujud dari konsekuensi dilanggarnya norma kesopanan di kalangan kelompok sosial ini (bangsa Indonesia). Selain itu, ada pula konsekuensi lainnya seperti teguran, cibiran, makian hingga pengusiran serta masih banyak bentuk “sanksi sosial” lainnya.
Norma Kesusilaan adalah seperangkat kaidah yang bersumber dari hati nurani manusia dimana setiap manusia dibekali kesadaran secara kondrati untuk memisahkan hal – hal mana yang baik dan hal – hal mana yang buruk dengan setiap pelanggaran diganjar dengan sanksi susila yang bersifat personal dan tertutup, artinya hanya diketahui, dirasakan, dan diderita pelanggarnya saja. Contoh, seorang siswa menyontek saat melaksanakan ujian. Secara kesusilaan, siswa tersebut merasa bersalah karena telah melakukan perbuatan curang. Rasa bersalah inilah yang menjadi sanksi atas dilanggarnya norma kesusilaan tersebut dan rasa bersalah tersebut muncul, disadari dan dirasakan atau diderita oleh siswa itu sendiri karena rasa bersalah itu timbul dari hati nurani siswa tersebut. Inilah yang dikatakan sanksi bersifat personal dan tertutup.
Terakhir, Norma Hukum adalah seperangkat kaidah atau aturan yang dibuat oleh lembaga – lembaga yang berwenang untuk membuatnya, mengatur tentang hal – hal yang harus dikerjakan dan tidak boleh dikerjakan serta hal – hal yang seharusnya dikerjakan dengan sanksi yang jelas, tegas, dan nyata bagi setiap pelanggaran dengan ditegakkannya aturan – aturan tersebut oleh lembaga penegak hukum yang diberikan kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Contoh, seorang pengendara motor melanggar rambu – rambu lalu lintas. Apabila hal tersebut diketahui oleh pihak berwajib (polisi), pengendara motor tersebut akan mendapat tilang. Tilang akan diserahkan kepada kejaksaan untuk diadili di muka sidang. Akhirnya, majelis hakim akan menentukan sanksi apa yang harus dijatuhkan bagi pengendara motor tersebut, semisal denda. Polisi, jaksa dan hakim adalah aparat yang diberi kewenangan untuk menegakkan peraturan hukum. Tilang adalah bentuk konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan dan denda adalah wujud riil dari sanksi tersebut. Sifat sanksi adalah jelas, tegas, nyata dan langsung, artinya tidak tertangguh untuk beberapa waktu di kemudian hari (dalam artian penindakan perbuatan melanggar hukumnya). Inilah yang membedakan norma ini dengan norma – norma lainnya.
Berikutnya, alasan apa yang menyebabkan norma hukum diperlukan keberadaannya, sedangkan norma – norma lainnya sudah ada di tengah – tengah masyarakat. Jawabannya dapat dijabarkan sebagai berikut:

1.        Efektifitas
Dari sisi efektifitasnya, norma hukum memiliki nilai lebih dari norma lainnya. Norma hukum memiliki ketentuan – ketentuan yang jelas dan tegas sehingga bagi setiap pelanggarnya dikenai suatu sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang dilanggar. Sanksi ini pun diberikan tidak dengan penangguhan seperti pada norma agama, tidak dengan sentimen sosial seperti pada norma kesopanan atau bersifat personal dan tertutup seperti norma kesusilaan. Hal ini yang kemudian menjadikan norma hukum lebih efektif dari norma sosial lainnya.
2.       Alat penegak hukum
Seperti disinggung di atas, norma hukum memiliki alat penegak yang memiliki peran untuk membenahi setiap pelanggaran dengan jalan memberikan ganjaran yang setimpal. Alat penegak hukum atau alat penegak norma tidak dimiliki oleh ketiga sanksi lainnya sehingga pelanggaran kaidah pada ketiga norma tersebut cenderung diabaikan atau bersifat temporal dan semu.
3.       Kekuatan sanksi
Seperti disinggung pada kedua poin di atas, karena sanksinya yang jelas, tegas dan nyata serta memiliki alat penegak hukum, norma hukum menjadi norma yang powerfull dalam menangani setiap pelanggaran kaidah karena setiap pelanggaran telah diancam dengan sanksi – sanski yang tegas dengan aparatur penegak hukum yang siap untuk menerapkan ketentuan pidana yang ada.
4.      Cakupan
Menurut saya, faktor keempat ini turut menjadi alasan mengapa norma hukum dibutuhkan selain ketiga norma lainnya. Faktor keempat ini berbicara dalam konteks HUKUM NASIONAL dalam ruang lingkup HUKUM NASIONAL INDONESIA. Seperti kita ketahui, Indonesia memiliki beberapa jenis agama, suku dan budaya yang berlimpah ruah. Dari perspektif agama saja ada aturan – aturan yang dalam agama satu dibolehkan sedangkan di agama lainnya tidak diperbolehkan, atau sebaliknya. Begitupun dari segi budaya. Sementara itu, ketentuan dalam agama satu hanya mengikat para penganut agama tersebut dan tidak pada penganut agama lainnya. Hal ini menyebabkan adanya variasi kaidah atau keberagaman norma yang akan menyulitkan karena tidak samanya ketentuan yang satu dengan ketentuan lainnya. Untuk itu, norma hukum lahir dalam rangka mewujudkan norma – norma sosial yang berbeda tersebut (aturan – aturan normatifnya) menjadi satu wadah yang mengakomodir ketentuan – ketentuan yang bervariasi tersebut. Contoh, KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) yang mengatur tentang penghinaan. Dalam ranah norma agama, penghinaan akan mendapat dosa. Dari sisi norma kesopanan akan memperoleh teguran sementara dari sisi norma kesusilaan akan diganjar dengan perasaan menyesal atau merasa malu. Dalam konteks norma hukum (bukan hukum nasional), berlaku hukum adat yang antara masyarakat satu dan masyarakat lainnya akan berbeda memandang soal penghinaan ini. Masyarakat satu mungkin akan mengganjarnya dengan denda kerbau apabila melakukan penghinaan pada orang lain sementara masyarakat lainnya akan mengganjarnya dengan denda pohon atau hukuman – hukuman adat lainnya. Keberagaman norma inilah yang akhirnya menjadikan norma hukum diperlukan untuk memayungi keseluruhan norma dalam satu wadah yang berlaku secara nasional bagi setiap warga masyarakat.

                Keempat hal tersebut merupakan beberapa alasan yang mendorong dibutuhkannya norma hukum di samping ketiga norma lainnya. Persoalan yang timbul sekarang, apakah norma hukum sudah menjalankan fungsinya? Apakah norma hukum saat ini sudah benar – benar “menggigit” para pelanggar ketentuan – ketentuan norma hukum? Kita bisa menyimpulkan hal tersebut sendiri.

Catatan Kuliah 1

Lingkaran Norma:
Manusia, Masyarakat, dan Hukum

Mungkin kita tidak pernah sadar bahwa hukum hidup tepat di sekitar kita. Hukum di sini tidak dimaksudkan pada undang – undang atau peraturan daerah yang hidup di kota tempat tinggal kita. Hukum di sini lebih dimaksudkan pada norma – norma yang abstrak, yang “menjadi pedoman” kita dalam bertata kelakuan. Sebut saja norma agama. Apakah norma agama tertuang dalam bentuk undang – undang? Ketentuan tentang larangan berbohong, misalnya? Aturan agama, dalam hal ini disebut norma agama, lahir dari keberadaan agama yang dianut tiap pribadi individu. Begitu pula norma kesopanan yang lahir akibat intensitas pergaulan dalam lingkungan sosial. Atau norma kesusilaan yang berangkat dari hati nurani manusia yang secara kodrati “ditanam oleh Tuhan” nilai – nilai kebenaran dan kejujuran dalam memilah mana yang baik dan buruk. Ketiga norma tersebut tidak tertuang dalam peraturan perundang – undangan, namun semua dari kita menyadari ketiganya adalah bagian dari hukum. Persoalannya, mengapa harus ada norma? Bukankah norma hanya menjadi alat pembatas gerak manusia? Hal tersebut yang akan sedikit dikupas di sini.
Setiap manusia memiliki kebutuhan. Secara sederhana, kita dapat mengelompokkannya menjadi dua, yaitu KEBUTUHAN JASMANI dan KEBUTUHAN ROHANI. Kebutuhan Jasmani adalah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dalam rangka melangsungkan kehidupannya, baik dalam mempertahankan hidup maupun mempertahankan aktivitas kesehariannya. Bentuk kebutuhan jasmani di antaranya adalah kebutuhan akan makan dan minum serta sandang, papan dan perangkat penunjang kegiatan lainnya.
Kebutuhan Rohani sendiri merupakan segala sesuatu hal yang diperlukan manusia untuk sisi ruhaniah (batin, jiwa, perasaan) manusia itu sendiri, seperti kebutuhan akan rekreasi, eksistensi diri berupa pengakuan lingkungan, kebutuhan akan agama sebagai pegangan dan keinginan untuk memperoleh keadilan di segala bidang.
Kedua kebutuhan tersebut mutlak dimiliki dan ingin dimiliki seluas – luasnya oleh setiap individu. Dalam konteks kehidupan individual, kebutuhan – kebutuhan tersebut dapat dipenuhi secara leluasa. Semisal, Tarzan. Sebagai satu – satunya manusia di hutan, dia dengan leluasa tidur dimana saja. Makan dan minum apa saja dan melakukan apa saja, misal gelantungan dari pohon satu ke pohon lainnya. Andai kata, Tarzan masuk kota dan berinteraksi dengan sepuluh, seratus, seribu, sejuta manusia. Apa yang terjadi? Bisakah Tarzan gelantungan dari tiang listrik satu ke tiang listrik lainnya? Atau berlarian di jalanan seperti yang ia lakukan di hutan? Makan buah – buahan di etalase supermarket buah seperti yang biasa ia lakukan dari pepohonan di dalam hutan? Bisakah dia ber”auaeo” sambil keliling kota? Tentunya tidak karena ada banyak kepentingan manusia lainnya yang akan terganggu oleh perbuatannya. Dari sinilah kemudian terjadi benturan antara kebutuhan si Tarzan dengan kebutuhan manusia kota.
Contoh lain, ibu kita membutuhkan minyak sedangkan tetangga sebelah membutuhkan elpiji untuk memasak. Dalam keadaan normal, keduanya dapat membeli secara bebas kedua barang tersebut karena dua barang yang menjadi komoditi keduanya berbeda. Namun, ketika elpiji langka di pasaran, mau tak mau tetangga kita mungkin akan beralih ke minyak tanah. Akibatnya, terjadi persaingan antara ibu kita dengan tetangga sebelah dalam memperoleh minyak tanah. Andai kata tidak ada norma yang mengatur pembelian keduanya, dimana keduanya sama – sama mempunyai hak untuk membeli (baca: memborong) minyak sebanyak mungkin, bukan hal mustahil jika keduanya akan saling berkelahi di depan kios minyak tanah gara – gara saling berebut minyak tanah. Dapat dibayangkan bukan dampaknya? Akan timbul korban dari peristiwa tersebut yang sudah barang tentu merugikan banyak pihak: ibu kita, tetangga sebelah, pemilik kios yang tempat dagangannya menjadi ajang adu tinju (atau bahkan barang dagangannya ada yang rusak) dan masyarakat sekitar yang terganggu dengan pertengkaran antara ibu kita dan tetangga sebelah. Sungguh dampak yang sangat tidak kita harapkan.
Pertanyaannya: bagaimana jika hal tersebut terjadi dalam ruang lingkup suatu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya? Misal, kelompok sopir angkutan kota dengan kelompok sopir bus kota yang sama – sama “berebut” penumpang untuk mengejar setoran. Atau antara partai politik satu dengan partai politik lainnya dalam mencari anggota baru atau mencari dukungan suara untuk pemilu. Bisa dibayangkan bukan?
Manusia, sebagai makhluk individu memiliki hak yang luas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sepanjang dia masih mampu mencapai dan meraih hal – hal yang dia inginkan, sebagai makhluk individu, dia bisa menikmati hal – hal yang dia peroleh nantinya. Tapi, selain sebagai makhluk individu, manusia juga memiliki peranan sebagai makhluk sosial yang artinya membutuhkan interaksi dan kerja sama dengan manusia lainnya. Contoh, masyarakat kota tidak mungkin makan nasi dan ikan laut jika tidak ada petani di desa dan nelayan di pesisir. Sebagai makhluk sosial, kebutuhan manusia menjadi terbatas dalam pemenuhannya karena harus memperhatikan manusia di sekitarnya. Contoh, seorang sopir truk tidak bisa memacu truknya dengan kencang jika di sekitarnya ada banyak kendaraan yang sama – sama menggunakan jalan meskipun sopir truk tersebut mempunyai hak untuk mengendarai truknya dengan kecepatan berapapun karena itu hasrat dan kehendak alamiah setiap manusia. Jika hasrat tersebut didahulukan oleh si sopir dan mengabaikan kepentingan orang di sekitarnya, tak ayal kecelakaan yang mengerikan pun akan terjadi. Untuk itu dibutuhkan aturan – aturan yang membatasi kelakuan setiap orang di jalanan agar tidak merugikan orang lain, salah satunya dengan mengeluarkan aturan tentang lalu lintas (Di Indonesia dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Jika hal ini diabaikan, pelanggarnya akan mendapat sanksi tergantung pada norma apa yang dilanggarnya.
Dari uraian di atas, kita dapat secara ringkas menyimpulkan bahwa kelahiran suatu norma tidak lain disebabkan keberadaan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Norma lahir karena adanya tuntutan untuk mengakomodir kebutuhan setiap individu dalam masyarakat dengan tidak merugikan individu lainnya. Norma lahir sebagai wujud dari kebutuhan manusia akan rasa aman dan rasa nyaman dalam memenuhi kebutuhan mereka. Dengan adanya norma, mereka tak lagi merasa khawatir kebutuhannya akan terlanggar oleh perilaku sewenang – wenang pihak – pihak tertentu. Pada akhirnya, setiap kebutuhan akan terpenuhi dengan mencukupi kebutuhan masing – masing individu dengan tidak melanggar kebutuhan individu lainnya. Hal inilah yang diharapkan dari lahirnya norma. Persoalannya, sudahkah norma – norma tersebut hidup dan mendarah daging dalam kehidupan sehari – hari kita? Jika tidak, jangan heran kalau masih ada kekacauan di masyarakat terkait dengan pemenuhan kebutuhan mereka.

Jumat, 18 Maret 2011

Mau nulis apa ya...? Hm... Lupa. He...

Ngomongin hukum nggak akan pernah ada habisnya. Kayak HP, tiap hari pasti aja ada model terbaru yang released ke tengah2 kita. Kayak gitu juga dengan hukum. Setiap hari, setiap detik malah, ada saja persoalan hukum di sekitar kita. Mulai bangun tidur ampe pules pun ada hukumnya. Ini yang bikin hukum nggak gampang dipelajari (selain ngomongin teori tentunya).

Sehubung saya juga sekolah di fakultas hukum + pengen banget ngenalin secuplik soal hukum, maka terciptalah blog ini dalam rangka menyalurkan ilmu yang saya miliki. Nggak usah khawatir soal biaya. It's free. Tulisan saya silahkan jadikan refensi kalo emang layak asalkan (KALO BISA DAN HARUS BISA. Heheheheh...) cantumkan juga blog ini sebagai daftar pustaka. Just it. Gampang kan? Ini posting perkenalan saya yang pertama. Tulisan soal hukum, apapun itu yang saya tahu, insya Allah akan saya posting segera. So, wait it!




NB: kalo ada kesalahan dlm tulisan saya, silahkan dikritik dengan cara yang santun. Anda sopan, kami segan. Thanks....