02 09 44

Selasa, 29 Maret 2011

Catatan Kuliah 1

Lingkaran Norma:
Manusia, Masyarakat, dan Hukum

Mungkin kita tidak pernah sadar bahwa hukum hidup tepat di sekitar kita. Hukum di sini tidak dimaksudkan pada undang – undang atau peraturan daerah yang hidup di kota tempat tinggal kita. Hukum di sini lebih dimaksudkan pada norma – norma yang abstrak, yang “menjadi pedoman” kita dalam bertata kelakuan. Sebut saja norma agama. Apakah norma agama tertuang dalam bentuk undang – undang? Ketentuan tentang larangan berbohong, misalnya? Aturan agama, dalam hal ini disebut norma agama, lahir dari keberadaan agama yang dianut tiap pribadi individu. Begitu pula norma kesopanan yang lahir akibat intensitas pergaulan dalam lingkungan sosial. Atau norma kesusilaan yang berangkat dari hati nurani manusia yang secara kodrati “ditanam oleh Tuhan” nilai – nilai kebenaran dan kejujuran dalam memilah mana yang baik dan buruk. Ketiga norma tersebut tidak tertuang dalam peraturan perundang – undangan, namun semua dari kita menyadari ketiganya adalah bagian dari hukum. Persoalannya, mengapa harus ada norma? Bukankah norma hanya menjadi alat pembatas gerak manusia? Hal tersebut yang akan sedikit dikupas di sini.
Setiap manusia memiliki kebutuhan. Secara sederhana, kita dapat mengelompokkannya menjadi dua, yaitu KEBUTUHAN JASMANI dan KEBUTUHAN ROHANI. Kebutuhan Jasmani adalah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dalam rangka melangsungkan kehidupannya, baik dalam mempertahankan hidup maupun mempertahankan aktivitas kesehariannya. Bentuk kebutuhan jasmani di antaranya adalah kebutuhan akan makan dan minum serta sandang, papan dan perangkat penunjang kegiatan lainnya.
Kebutuhan Rohani sendiri merupakan segala sesuatu hal yang diperlukan manusia untuk sisi ruhaniah (batin, jiwa, perasaan) manusia itu sendiri, seperti kebutuhan akan rekreasi, eksistensi diri berupa pengakuan lingkungan, kebutuhan akan agama sebagai pegangan dan keinginan untuk memperoleh keadilan di segala bidang.
Kedua kebutuhan tersebut mutlak dimiliki dan ingin dimiliki seluas – luasnya oleh setiap individu. Dalam konteks kehidupan individual, kebutuhan – kebutuhan tersebut dapat dipenuhi secara leluasa. Semisal, Tarzan. Sebagai satu – satunya manusia di hutan, dia dengan leluasa tidur dimana saja. Makan dan minum apa saja dan melakukan apa saja, misal gelantungan dari pohon satu ke pohon lainnya. Andai kata, Tarzan masuk kota dan berinteraksi dengan sepuluh, seratus, seribu, sejuta manusia. Apa yang terjadi? Bisakah Tarzan gelantungan dari tiang listrik satu ke tiang listrik lainnya? Atau berlarian di jalanan seperti yang ia lakukan di hutan? Makan buah – buahan di etalase supermarket buah seperti yang biasa ia lakukan dari pepohonan di dalam hutan? Bisakah dia ber”auaeo” sambil keliling kota? Tentunya tidak karena ada banyak kepentingan manusia lainnya yang akan terganggu oleh perbuatannya. Dari sinilah kemudian terjadi benturan antara kebutuhan si Tarzan dengan kebutuhan manusia kota.
Contoh lain, ibu kita membutuhkan minyak sedangkan tetangga sebelah membutuhkan elpiji untuk memasak. Dalam keadaan normal, keduanya dapat membeli secara bebas kedua barang tersebut karena dua barang yang menjadi komoditi keduanya berbeda. Namun, ketika elpiji langka di pasaran, mau tak mau tetangga kita mungkin akan beralih ke minyak tanah. Akibatnya, terjadi persaingan antara ibu kita dengan tetangga sebelah dalam memperoleh minyak tanah. Andai kata tidak ada norma yang mengatur pembelian keduanya, dimana keduanya sama – sama mempunyai hak untuk membeli (baca: memborong) minyak sebanyak mungkin, bukan hal mustahil jika keduanya akan saling berkelahi di depan kios minyak tanah gara – gara saling berebut minyak tanah. Dapat dibayangkan bukan dampaknya? Akan timbul korban dari peristiwa tersebut yang sudah barang tentu merugikan banyak pihak: ibu kita, tetangga sebelah, pemilik kios yang tempat dagangannya menjadi ajang adu tinju (atau bahkan barang dagangannya ada yang rusak) dan masyarakat sekitar yang terganggu dengan pertengkaran antara ibu kita dan tetangga sebelah. Sungguh dampak yang sangat tidak kita harapkan.
Pertanyaannya: bagaimana jika hal tersebut terjadi dalam ruang lingkup suatu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya? Misal, kelompok sopir angkutan kota dengan kelompok sopir bus kota yang sama – sama “berebut” penumpang untuk mengejar setoran. Atau antara partai politik satu dengan partai politik lainnya dalam mencari anggota baru atau mencari dukungan suara untuk pemilu. Bisa dibayangkan bukan?
Manusia, sebagai makhluk individu memiliki hak yang luas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sepanjang dia masih mampu mencapai dan meraih hal – hal yang dia inginkan, sebagai makhluk individu, dia bisa menikmati hal – hal yang dia peroleh nantinya. Tapi, selain sebagai makhluk individu, manusia juga memiliki peranan sebagai makhluk sosial yang artinya membutuhkan interaksi dan kerja sama dengan manusia lainnya. Contoh, masyarakat kota tidak mungkin makan nasi dan ikan laut jika tidak ada petani di desa dan nelayan di pesisir. Sebagai makhluk sosial, kebutuhan manusia menjadi terbatas dalam pemenuhannya karena harus memperhatikan manusia di sekitarnya. Contoh, seorang sopir truk tidak bisa memacu truknya dengan kencang jika di sekitarnya ada banyak kendaraan yang sama – sama menggunakan jalan meskipun sopir truk tersebut mempunyai hak untuk mengendarai truknya dengan kecepatan berapapun karena itu hasrat dan kehendak alamiah setiap manusia. Jika hasrat tersebut didahulukan oleh si sopir dan mengabaikan kepentingan orang di sekitarnya, tak ayal kecelakaan yang mengerikan pun akan terjadi. Untuk itu dibutuhkan aturan – aturan yang membatasi kelakuan setiap orang di jalanan agar tidak merugikan orang lain, salah satunya dengan mengeluarkan aturan tentang lalu lintas (Di Indonesia dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Jika hal ini diabaikan, pelanggarnya akan mendapat sanksi tergantung pada norma apa yang dilanggarnya.
Dari uraian di atas, kita dapat secara ringkas menyimpulkan bahwa kelahiran suatu norma tidak lain disebabkan keberadaan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Norma lahir karena adanya tuntutan untuk mengakomodir kebutuhan setiap individu dalam masyarakat dengan tidak merugikan individu lainnya. Norma lahir sebagai wujud dari kebutuhan manusia akan rasa aman dan rasa nyaman dalam memenuhi kebutuhan mereka. Dengan adanya norma, mereka tak lagi merasa khawatir kebutuhannya akan terlanggar oleh perilaku sewenang – wenang pihak – pihak tertentu. Pada akhirnya, setiap kebutuhan akan terpenuhi dengan mencukupi kebutuhan masing – masing individu dengan tidak melanggar kebutuhan individu lainnya. Hal inilah yang diharapkan dari lahirnya norma. Persoalannya, sudahkah norma – norma tersebut hidup dan mendarah daging dalam kehidupan sehari – hari kita? Jika tidak, jangan heran kalau masih ada kekacauan di masyarakat terkait dengan pemenuhan kebutuhan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar