02 09 44

Kamis, 10 November 2011

Otonomi Desa: Antara Ada & Tiada

BERSANTAI-Desa merupakan tempat 'terasyik' untuk menikmati waktu luang

DALAM euforia penyelenggaraan otonomi daerah saat ini, masing-masing pemerintah daerah mencoba tampil unggul dibandingkan pemerintah daerah lainnya. Semua kekayaan dan potensi yang dimiliki coba dikembangkan dengan semaksimal mungkin. Air, tanah, pertanian, hingga tradisi masyarakat setempat menjadi obyek optimalisasi otonomi daerah.

Namun, jika pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota gencar dengan perencananaan pembangunan di daerahnya, sebuah kesatuan masyarakat dengan wilayah tertentu menatap nanar masa depan mereka. Ya. Ialah desa, yaitu "kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia" (pasal 1 poin 12 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah). Kehadiran undang-undang ini awalnya diharapkan memberikan porsi yang jelas bagi desa untuk masuk ke dalam agenda otonomi daerah sebagai sebuah daerah otonom. Kenyataannya, undang-undang tersebut hadir dengan persoalan lain: tidak diakuinya STATUS desa sebagai daerah otonom.

Pertanyaan muncul: bagaimana bisa?

Simak paparan berikut:
  1. Pasal 3 UU 32/2004 menyatakan bahwa pemerintahan daerah adalah a) pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi; b. pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Kita bertanya: desa kemana?
  2. Simak bab XI tentang Desa pasal 200-216. Adakah yang secara TERANG-TERANGAN menyebutkan bahwa desa adalah bagian dari pemerintah daerah atau mempunyai otonomi? Tidak ada.
  3. Apakah dari pasal 200-216 menyatakan bentuk desa, apakah desa adat, desa otonom, atau desa administratif? Tidak ada. Pasal 200 ayat (3) hanya mengatur bahwa status desa secara bertahap dapat diubah menjadi kelurahan dan hal ini sangat ngawur dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Dari tiga hal tersebut, secara cepat kita akan menyebutkan bahwa desa tidak masuk ke dalam kerangka otonomi daerah. Lalu, siapa yang mengatakan bahwa desa masuk bagian pemerintahan daerah? Anda sendiri dapat menyatakan demikian jika menyimak uraian berikut:
  1. Kewenangan desa sebagaimana diatur pasal 206 mencakup:
    a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.
    b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
    c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
    d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa. Simak huruf 'a'! Bukankah itu ciri dari pemerintahan yang otonom dimana pemerintah otonom diberi kewenangan mengatur urusan yang sejatinya merupakan urusannya? Di sana berlaku asas desentral-isasi. Satu bukti otonomi desa kita temukan.
  2. Pasal 203 ayat (1), "Kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah." Di sini desa diberi otonomi di bidang politik oleh undang-undang.
  3. Jika berkenan, silahkan buka Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 nomor 10 tentang Desa. Pada akhir alinea pertama dan awal alinea kedua, terdapat "...Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, OTONOMI ASLI, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat." dan "Undang-Undang ini MENGAKUI OTONOMI yang DIMILIKI oleh DESA ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa..." Meskipun Penjelasan Undang-Undang bukan bagian dari norma, darinya kita tahu maksud suatu undang-undang timbul dan historikal bagaimana undang-undang tersebut lahir. Di sini bukti keotonomian desa telah "diakui." Masalahnya, kenapa keotonomian tersebut tidak diatur secara tegas dan jelas di dalam batang tubuh undang-undang tersebut? Mengapa desa tidak secara terang dimasukkan ke dalam pemerintahan daerah jika keotonomiannya diakui?
Persoalan otonomi atau tidaknya desa juga diperdebatkan oleh Paramita Iswari dalam tulisan beliau Analisis Klausul-Klausul mengenai Desa dalam UU 32 Tahun 2004 - Menutup Pintu yang Terbuka. Beliau mempertanyakan pengakuan keotonomian desa yang hanya di Penjelasan dimana hal tersebut jelas-jelas bukan suatu norma. Selain itu, menurut beliau, kehadiran undang-undang ini malah menutup jalan bagi desa untuk menjadi wilayah yang otonom. Undang-undang ini sebagai terobosan buruk atas undang-undang sebelumnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jika demikian, bagaimana kepastian desa? Daerah otonom atau bukan? Bagian dari pemerintahan daerah atau bukan?

Persoalan panjang memang jika harus mencari status asli dari desa kaitannya dengan kedudukannya dalam pemerintahan daerah. Perdebatan panjang dan melelahkan pasti akan berkutat di antara argumen-argumen di atas. Menurut saya, desa ada baiknya diklasifikasikan ke dalam pemerintahan daerah meskipun secara formil undang-undang tidak mempertegasnya. Alasan mengapa perlu desa dimasukkan ke dalam otonomi daerah ada begitu banyak. Pada kesempatan ini, saya akan mengajukan argumentasi beberapa item saja.

Pertama, kehadiran desa sebagai suatu kesatuan masyarakat yang jauh ada sebelum negara kita merdeka. Desa, disadari atau tidak, merupakan bagian terkecil kekuasaan yang mandiri, yang menyusun NKRI. Desa menjadi bagian hidup kita. Di kota, ada desa (julukannya Kelurahan). Di kecamatan, ada desa. Di Bali, ada bentuk desa yang khas yaitu desa adat yang otonominya asli dari desa tersebut, bukan otonomi pemberian sebagaimana sistem otonomi daerah kita. Ditinjau dari sudut pandang historis tersebut, apakah layak meninggalkan desa tanpa otonomi sementara kesatuan-kesatuan wilayah yang terbentuk darinya, kabupaten, kota, hingga provinsi telah diberikan kewenangan untuk itu? Persoalan keterbatasan SDM di desa akan dapat diatasi apabila desa diberi celah untuk mencari jalan bagi persoalan tersebut. Salah satunya adalah memberikan otonomi untuk membangun wilayahnya sendiri. Jika kewenangan itu tidak diberikan, bagaimana desa akan berkembang sementara yang tahu arah perkembangan desa tersebut hanyalah desa itu sendiri?

Kedua, pemercepatan pembangunan di daerah. Cara berpikir sederhana. Jika kita diberi 1000 orang anak buah dengan kita sendiri, satu orang, sebagai pemimpin, bagaimana menurut Anda? Sanggupkah? Selanjutnya, bagaimana jika dari 1000 orang tersebut kita bagi menjadi 20 kelompok, masing-masing 50 orang. Dari tiap-tiap kelompok, kita angkat 1 orang sebagai ketua kelompok. Suatu hari, diadakan perburuan mammoth (ilustrasi jaman prasejarah. Lihat film 10000 BC). Lebih mudah mana mengkoordinasikan 1000 orang langsung di bawah kita dengan mengkoordinasikan 20 ketua kelompok yang akan berkoordinasi dengan tiap-tiap anggota kelompoknya? Begitu pula dengan desa. Jika kabupaten/kota dibebani urusan untuk mempercepat pembangunan perekonomian 1000 desa di wilayahnya, dengan 1000 persoalan perencanaan pembangunan yang menyesuaikan kondisi setiap daerah, ditambah 1000, 1000, dan seribu-seribu hal lainnya terkait dengan pemberdayaan desa, tidak pusingkah? Karena itu harus dibentuk desa dengan pemerintahan yang otonom, yang dapat memberdayakan masyarakatnya sendiri menurut aspirasi dan prakarsa mereka sendiri. Bukankah bekerja dengan otak dan tangan sendiri lebih enak daripada dibonekai oleh orang lain?

Ketiga, dilihat dari perspektif pengaturan di undang-undang terbaru, memang secara formil desa tidak dipertegas kedudukannya sebagai daerah otonom. Namun, dari pengaturan dan kewenangan yang ada, secara tersirat desa memiliki keotonomian tersebut dan diakomodasi penerapannya. Dalam Penjelasan hal tersebut dterangkan secara jelas. Dengan demikian, jika ditinjau dari sudut pandang hukum secara sosiologis (hukum dilihat menurut kebutuhan di masyarakat), desa harus dimasukkan ke dalam bagian pemerintahan daerah meskipun hanya "bayangan hitam bebatuan gunung."

Keempat, masih terkait dengan alasan ketiga, bahwa masyarakat di daerah banyak membutuhkan desa mereka sebagai desa yang otonom. Dengan demikian, mereka dapat mengembangkan imajinasi-kreatifitas pembangunan mereka secara leluasa tanpa terkendala birokrasi yang ada (keberadaan sekdes sebagai PNS yang diangkat sekda menjadi rintangan bagi kepala daerah untuk menjalankan otoritasnya sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif di desa). Dengan keotonomian desa, maka desa tidak perlu lagi terganjal birokrasi dalam menata desanya karena telah ada kewenangan yang luas untuk penataan dan pemberdayaan tersebut.

Terakhir, perlunya otonomi desa disebabkan kerentatan wilayah kita saat ini sebagai markas-markas dan pembibitan gerakan-gerakan separatis. Desa sebagai lapisan paling bawah yang banyak berhubungan dengan masyarakat merupakan benteng paling fundamental yang dapat mencegah lahirnya suatu gerakan separatis. Dan gerakan itu lahir antara lain karena adanya ketimpangan dari segi pendapatan dan kesejahteraan sehingga menimbulkan gejolak konflik yang berbuntut pada aksi-aksi seperti GAM di masa lalu dan OPM di Papua. Dengan adanya otonomi, diharapkan desa mampu mengembangkan dan memberdayakan dirinya sendiri dengan sedikit bantuan dari pemerintahan di atasnya. Dengan begitu, desa dapat tumbuh menjadi kesatuan masyarakat yang kuat dan tangguh di segala bidang, khususnya ekonomi, politik, dan religiusitas sebagai benteng dari kemerosotan moral.

Kelima hal tersebut merupakan alasan mengapa desa perlu dikategorikan sebagai pemerintahan daerah. Lepas dari statusnya saat ini, mari kita beranalogi seperti berikut ini.

Anda, laki-laki ataupun perempuan, mempunyai seorang teman spesial yang berlainan jenis. Jika Anda laki-laki, teman Anda itu perempuan. Begitu pun sebaliknya. Antara Anda dan dia tidak terjalin hubungan asmara. Tidak pacaran, apalagi suami-istri. Anehnya, dalam keseharian pergaulan Anda berdua begitu intim menyer-upai pasangan yang sedang berpacaran, atau bahkan menikah. Bergandengan tangan, berpelukan, candle light dinnerkissing. Secara STATUS, Anda berdua tidak sedang pacaran dan bukan suami-istri. Secara PRAKTIS dan MATERIIL INTERAKSIONAL, Anda berdua seperti pacaran. Menurut orang di sekitar Anda berdua, misal tukang rujak yang kebetulan memergoki Anda berdua sedang pelukan di taman, menyangka Anda berdua adalah pasangan kekasih. Sementara Anda berdua sendiri tahu betul bahwa tidak ada ikatan apapun di antara Anda berdua. Lalu, saya bertanya: apa sebutan untuk Anda berdua? Pacaran atau bukan pacaran? Lalu, apa yang Anda berdua lakukan selama ini? Ditinjau dari kacamata adat ketimuran dan kelaziman hubungan intim? Begitulah desa. Status pemerintahan daerah mereka tak punya, namun "sukma" dari pemerintahan daerah itu sendiri sudah mereka kantongi. Maka, saya berikan kesempatan untuk Anda menjawab sendiri: otonomikah desa itu dan bagian dari pemerintahan daerahkah desa itu?

Selamat merenung!

Sumber:
  • Tulisan

Sri Nuryani, dkk, 2009, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SD/MI Kelas 4, Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Gregorius Sahdan, dkk, Tanpa Tahun, ADD untuk Kesejahteraan Rakyat, Yogyakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa.
C.S.T. Kansil, dkk, 2009, Hukum Administrasi Daerah, Jakarta: Jala Permata Aksara


Paramita Iswari, Analisis Klausul-Klausul mengenai Desa dalam UU 32 Tahun 2004: Menutup Pintu yang Terbuka, Essay disajikan dalam diskusi ”Men-duduk-an Otonomi Asli dengan Memanfaatkan Momentum Politik ’Otonomi Daerah’ dalam rangka Penataan Ulang Relasi Negara dengan Masyarakat Adat”, Aliansi Masya-rakat Adat Kalimantan Barat, Hotel Merpati-Pontianak, 16 Maret 2005.
Solly Lubis, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Makalah disajikan Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII bertema “Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Dadang Solihin, Strategi Perencanaan Desa, Presentasi disajikan di Central Hotel-Jakarta, BPMPK Kabupaten Kutai Barat, 24 Juni 2011.
Achmad  Nurmandi, Otonomi Desa di Indonesia: Otonomi Asli atau Tidak Asli Lagi?, Tanpa Tempat dan Tahun.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


Denny Noviansyah, 2007, Pemerintahan Desa (Online), http://dhenov.blogspot.com/2007/12/pemerintahan-desa.html, diakses tanggal 22 Oktober 2011.
Irul Hamdani, 2009, Ramadan, Awe-Awe di Jalur Gumitir Membludak (Online), http://ramadan.detik.com/read/2009/09/02/110030/1194569/631/ramadan-awe-awe-di-jalur-gumitir-membludak?browse=frommobile, diakses tanggal 7 November 2011.
As Rul, 2010, Hambatan Mengotonomi Desa (Online), http://birokrasi.kompasiana.com/ 2010/07/30/hambatan-meng%E2%80%9Dotonomi%E2%80%9Dkan-desa/, diakses tanggal 23 Oktober 2011.
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, 2010, Menimbang Kembali “Desa” dalam Tantangan Globalisasi: Perspektif Mahasiswa HI (Online), http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/16/menimbang-kembali-desa-dalam-tantangan-globalisasi-perspektif-mahasiswa-hi/, diakses tanggal 23 Oktober 2010
Sutiyo, 2010, Otonomi Desa, Agenda Terlupakan (Online), http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/02/27/100395/10/Otonomi-Desa-Agenda-Terlupakan, diakses tanggal 23 Oktober 2011.

  • Gambar
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://yuliatnomath.files.wordpress.com/2010/12/desa.jpg&imgrefurl=http://yuliatnomath.wordpress.com/2010/12/&usg=__aBQ31NvGYSzXM7cvI0v7HocD3co=&h=296&w=421&sz=73&hl=id&start=2&sig2=gVoKaJ2tTcTrEEE4GW1Xug&zoom=1&tbnid=IHKBun45qvR0BM:&tbnh=88&tbnw=125&ei=Oua7TuubHISyrAfgoJGGCQ&prev=/search%3Fq%3Ddesa%26um%3D1%26hl%3Did%26client%3Dopera%26sa%3DN%26rls%3Did%26channel%3Dsuggest%26tbm%3Disch&um=1&itbs=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar