02 09 44

Selasa, 29 Maret 2011

Catatan Kuliah 2


Bentuk – Bentuk Norma

Jika kalian pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar, khususnya kelas 5, guru kita akan sedikit menyinggung kita tentang norma – norma sosial. Ingat atau tidak, norma sosial ada lima, yaitu NORMA AGAMA, NORMA KESOPANAN, NORMA KESUSILAAN, dan NORMA HUKUM.
Norma Agama adalah seperangkat kaidah atau aturan yang asal – muasalnya dari Tuhan dengan diturunkan melalui suatu perantara dan biasanya tertuang dalam suatu kitab suci dimana kaidah tersebut mengatur tentang hal – hal yang harus dilakukan, boleh dilakukan, boleh ditinggalkan atau harus ditinggalkan dan memiliki suatu sanksi berupa dosa bagi pelanggarnya serta hukuman tersebut tertangguh hingga suatu saat tertentu. Misal dalam perspektif Islam. Kaidah dalam Islam berasal dari Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui Jibril dan dibukukan dalam Al-Qur’an. Di dalamnya memuat beberapa aturan, misal tentang kewajiban puasa. Apabila hal ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dikenai dosa dan akan dieksekusikan hukuman tersebut di akhirat setelah kiamat.
Norma Kesopanan adalah seperangkat ketentuan atau kaidah yang berasal dari tata pergaulan suatu masyarakat yang mengatur tentang tata kelakuan anggota masyarakatnya tentang hal – hal yang baik dan buruk serta konsekuensi – konsekuensi sosial bagi setiap pelanggaran. Contoh, masyarakat Indonesia tidak mengenal perilaku ciuman di muka umum. Faktor budaya Timur menjadi alasan budaya Barat tersebut tidak pas dengan pergaulan bangsa Indonesia. Andai kata mereka menyaksikan ada orang Indonesia, laki – laki dan wanita, melakukan hal tersebut (ciuman) di tempat terbuka, misal halte bus, maka tak ayal akan keluar suatu protes dan masyarakat sekitar. Protes – protes ini adalah wujud dari konsekuensi dilanggarnya norma kesopanan di kalangan kelompok sosial ini (bangsa Indonesia). Selain itu, ada pula konsekuensi lainnya seperti teguran, cibiran, makian hingga pengusiran serta masih banyak bentuk “sanksi sosial” lainnya.
Norma Kesusilaan adalah seperangkat kaidah yang bersumber dari hati nurani manusia dimana setiap manusia dibekali kesadaran secara kondrati untuk memisahkan hal – hal mana yang baik dan hal – hal mana yang buruk dengan setiap pelanggaran diganjar dengan sanksi susila yang bersifat personal dan tertutup, artinya hanya diketahui, dirasakan, dan diderita pelanggarnya saja. Contoh, seorang siswa menyontek saat melaksanakan ujian. Secara kesusilaan, siswa tersebut merasa bersalah karena telah melakukan perbuatan curang. Rasa bersalah inilah yang menjadi sanksi atas dilanggarnya norma kesusilaan tersebut dan rasa bersalah tersebut muncul, disadari dan dirasakan atau diderita oleh siswa itu sendiri karena rasa bersalah itu timbul dari hati nurani siswa tersebut. Inilah yang dikatakan sanksi bersifat personal dan tertutup.
Terakhir, Norma Hukum adalah seperangkat kaidah atau aturan yang dibuat oleh lembaga – lembaga yang berwenang untuk membuatnya, mengatur tentang hal – hal yang harus dikerjakan dan tidak boleh dikerjakan serta hal – hal yang seharusnya dikerjakan dengan sanksi yang jelas, tegas, dan nyata bagi setiap pelanggaran dengan ditegakkannya aturan – aturan tersebut oleh lembaga penegak hukum yang diberikan kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Contoh, seorang pengendara motor melanggar rambu – rambu lalu lintas. Apabila hal tersebut diketahui oleh pihak berwajib (polisi), pengendara motor tersebut akan mendapat tilang. Tilang akan diserahkan kepada kejaksaan untuk diadili di muka sidang. Akhirnya, majelis hakim akan menentukan sanksi apa yang harus dijatuhkan bagi pengendara motor tersebut, semisal denda. Polisi, jaksa dan hakim adalah aparat yang diberi kewenangan untuk menegakkan peraturan hukum. Tilang adalah bentuk konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan dan denda adalah wujud riil dari sanksi tersebut. Sifat sanksi adalah jelas, tegas, nyata dan langsung, artinya tidak tertangguh untuk beberapa waktu di kemudian hari (dalam artian penindakan perbuatan melanggar hukumnya). Inilah yang membedakan norma ini dengan norma – norma lainnya.
Berikutnya, alasan apa yang menyebabkan norma hukum diperlukan keberadaannya, sedangkan norma – norma lainnya sudah ada di tengah – tengah masyarakat. Jawabannya dapat dijabarkan sebagai berikut:

1.        Efektifitas
Dari sisi efektifitasnya, norma hukum memiliki nilai lebih dari norma lainnya. Norma hukum memiliki ketentuan – ketentuan yang jelas dan tegas sehingga bagi setiap pelanggarnya dikenai suatu sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang dilanggar. Sanksi ini pun diberikan tidak dengan penangguhan seperti pada norma agama, tidak dengan sentimen sosial seperti pada norma kesopanan atau bersifat personal dan tertutup seperti norma kesusilaan. Hal ini yang kemudian menjadikan norma hukum lebih efektif dari norma sosial lainnya.
2.       Alat penegak hukum
Seperti disinggung di atas, norma hukum memiliki alat penegak yang memiliki peran untuk membenahi setiap pelanggaran dengan jalan memberikan ganjaran yang setimpal. Alat penegak hukum atau alat penegak norma tidak dimiliki oleh ketiga sanksi lainnya sehingga pelanggaran kaidah pada ketiga norma tersebut cenderung diabaikan atau bersifat temporal dan semu.
3.       Kekuatan sanksi
Seperti disinggung pada kedua poin di atas, karena sanksinya yang jelas, tegas dan nyata serta memiliki alat penegak hukum, norma hukum menjadi norma yang powerfull dalam menangani setiap pelanggaran kaidah karena setiap pelanggaran telah diancam dengan sanksi – sanski yang tegas dengan aparatur penegak hukum yang siap untuk menerapkan ketentuan pidana yang ada.
4.      Cakupan
Menurut saya, faktor keempat ini turut menjadi alasan mengapa norma hukum dibutuhkan selain ketiga norma lainnya. Faktor keempat ini berbicara dalam konteks HUKUM NASIONAL dalam ruang lingkup HUKUM NASIONAL INDONESIA. Seperti kita ketahui, Indonesia memiliki beberapa jenis agama, suku dan budaya yang berlimpah ruah. Dari perspektif agama saja ada aturan – aturan yang dalam agama satu dibolehkan sedangkan di agama lainnya tidak diperbolehkan, atau sebaliknya. Begitupun dari segi budaya. Sementara itu, ketentuan dalam agama satu hanya mengikat para penganut agama tersebut dan tidak pada penganut agama lainnya. Hal ini menyebabkan adanya variasi kaidah atau keberagaman norma yang akan menyulitkan karena tidak samanya ketentuan yang satu dengan ketentuan lainnya. Untuk itu, norma hukum lahir dalam rangka mewujudkan norma – norma sosial yang berbeda tersebut (aturan – aturan normatifnya) menjadi satu wadah yang mengakomodir ketentuan – ketentuan yang bervariasi tersebut. Contoh, KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) yang mengatur tentang penghinaan. Dalam ranah norma agama, penghinaan akan mendapat dosa. Dari sisi norma kesopanan akan memperoleh teguran sementara dari sisi norma kesusilaan akan diganjar dengan perasaan menyesal atau merasa malu. Dalam konteks norma hukum (bukan hukum nasional), berlaku hukum adat yang antara masyarakat satu dan masyarakat lainnya akan berbeda memandang soal penghinaan ini. Masyarakat satu mungkin akan mengganjarnya dengan denda kerbau apabila melakukan penghinaan pada orang lain sementara masyarakat lainnya akan mengganjarnya dengan denda pohon atau hukuman – hukuman adat lainnya. Keberagaman norma inilah yang akhirnya menjadikan norma hukum diperlukan untuk memayungi keseluruhan norma dalam satu wadah yang berlaku secara nasional bagi setiap warga masyarakat.

                Keempat hal tersebut merupakan beberapa alasan yang mendorong dibutuhkannya norma hukum di samping ketiga norma lainnya. Persoalan yang timbul sekarang, apakah norma hukum sudah menjalankan fungsinya? Apakah norma hukum saat ini sudah benar – benar “menggigit” para pelanggar ketentuan – ketentuan norma hukum? Kita bisa menyimpulkan hal tersebut sendiri.

Catatan Kuliah 1

Lingkaran Norma:
Manusia, Masyarakat, dan Hukum

Mungkin kita tidak pernah sadar bahwa hukum hidup tepat di sekitar kita. Hukum di sini tidak dimaksudkan pada undang – undang atau peraturan daerah yang hidup di kota tempat tinggal kita. Hukum di sini lebih dimaksudkan pada norma – norma yang abstrak, yang “menjadi pedoman” kita dalam bertata kelakuan. Sebut saja norma agama. Apakah norma agama tertuang dalam bentuk undang – undang? Ketentuan tentang larangan berbohong, misalnya? Aturan agama, dalam hal ini disebut norma agama, lahir dari keberadaan agama yang dianut tiap pribadi individu. Begitu pula norma kesopanan yang lahir akibat intensitas pergaulan dalam lingkungan sosial. Atau norma kesusilaan yang berangkat dari hati nurani manusia yang secara kodrati “ditanam oleh Tuhan” nilai – nilai kebenaran dan kejujuran dalam memilah mana yang baik dan buruk. Ketiga norma tersebut tidak tertuang dalam peraturan perundang – undangan, namun semua dari kita menyadari ketiganya adalah bagian dari hukum. Persoalannya, mengapa harus ada norma? Bukankah norma hanya menjadi alat pembatas gerak manusia? Hal tersebut yang akan sedikit dikupas di sini.
Setiap manusia memiliki kebutuhan. Secara sederhana, kita dapat mengelompokkannya menjadi dua, yaitu KEBUTUHAN JASMANI dan KEBUTUHAN ROHANI. Kebutuhan Jasmani adalah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dalam rangka melangsungkan kehidupannya, baik dalam mempertahankan hidup maupun mempertahankan aktivitas kesehariannya. Bentuk kebutuhan jasmani di antaranya adalah kebutuhan akan makan dan minum serta sandang, papan dan perangkat penunjang kegiatan lainnya.
Kebutuhan Rohani sendiri merupakan segala sesuatu hal yang diperlukan manusia untuk sisi ruhaniah (batin, jiwa, perasaan) manusia itu sendiri, seperti kebutuhan akan rekreasi, eksistensi diri berupa pengakuan lingkungan, kebutuhan akan agama sebagai pegangan dan keinginan untuk memperoleh keadilan di segala bidang.
Kedua kebutuhan tersebut mutlak dimiliki dan ingin dimiliki seluas – luasnya oleh setiap individu. Dalam konteks kehidupan individual, kebutuhan – kebutuhan tersebut dapat dipenuhi secara leluasa. Semisal, Tarzan. Sebagai satu – satunya manusia di hutan, dia dengan leluasa tidur dimana saja. Makan dan minum apa saja dan melakukan apa saja, misal gelantungan dari pohon satu ke pohon lainnya. Andai kata, Tarzan masuk kota dan berinteraksi dengan sepuluh, seratus, seribu, sejuta manusia. Apa yang terjadi? Bisakah Tarzan gelantungan dari tiang listrik satu ke tiang listrik lainnya? Atau berlarian di jalanan seperti yang ia lakukan di hutan? Makan buah – buahan di etalase supermarket buah seperti yang biasa ia lakukan dari pepohonan di dalam hutan? Bisakah dia ber”auaeo” sambil keliling kota? Tentunya tidak karena ada banyak kepentingan manusia lainnya yang akan terganggu oleh perbuatannya. Dari sinilah kemudian terjadi benturan antara kebutuhan si Tarzan dengan kebutuhan manusia kota.
Contoh lain, ibu kita membutuhkan minyak sedangkan tetangga sebelah membutuhkan elpiji untuk memasak. Dalam keadaan normal, keduanya dapat membeli secara bebas kedua barang tersebut karena dua barang yang menjadi komoditi keduanya berbeda. Namun, ketika elpiji langka di pasaran, mau tak mau tetangga kita mungkin akan beralih ke minyak tanah. Akibatnya, terjadi persaingan antara ibu kita dengan tetangga sebelah dalam memperoleh minyak tanah. Andai kata tidak ada norma yang mengatur pembelian keduanya, dimana keduanya sama – sama mempunyai hak untuk membeli (baca: memborong) minyak sebanyak mungkin, bukan hal mustahil jika keduanya akan saling berkelahi di depan kios minyak tanah gara – gara saling berebut minyak tanah. Dapat dibayangkan bukan dampaknya? Akan timbul korban dari peristiwa tersebut yang sudah barang tentu merugikan banyak pihak: ibu kita, tetangga sebelah, pemilik kios yang tempat dagangannya menjadi ajang adu tinju (atau bahkan barang dagangannya ada yang rusak) dan masyarakat sekitar yang terganggu dengan pertengkaran antara ibu kita dan tetangga sebelah. Sungguh dampak yang sangat tidak kita harapkan.
Pertanyaannya: bagaimana jika hal tersebut terjadi dalam ruang lingkup suatu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya? Misal, kelompok sopir angkutan kota dengan kelompok sopir bus kota yang sama – sama “berebut” penumpang untuk mengejar setoran. Atau antara partai politik satu dengan partai politik lainnya dalam mencari anggota baru atau mencari dukungan suara untuk pemilu. Bisa dibayangkan bukan?
Manusia, sebagai makhluk individu memiliki hak yang luas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sepanjang dia masih mampu mencapai dan meraih hal – hal yang dia inginkan, sebagai makhluk individu, dia bisa menikmati hal – hal yang dia peroleh nantinya. Tapi, selain sebagai makhluk individu, manusia juga memiliki peranan sebagai makhluk sosial yang artinya membutuhkan interaksi dan kerja sama dengan manusia lainnya. Contoh, masyarakat kota tidak mungkin makan nasi dan ikan laut jika tidak ada petani di desa dan nelayan di pesisir. Sebagai makhluk sosial, kebutuhan manusia menjadi terbatas dalam pemenuhannya karena harus memperhatikan manusia di sekitarnya. Contoh, seorang sopir truk tidak bisa memacu truknya dengan kencang jika di sekitarnya ada banyak kendaraan yang sama – sama menggunakan jalan meskipun sopir truk tersebut mempunyai hak untuk mengendarai truknya dengan kecepatan berapapun karena itu hasrat dan kehendak alamiah setiap manusia. Jika hasrat tersebut didahulukan oleh si sopir dan mengabaikan kepentingan orang di sekitarnya, tak ayal kecelakaan yang mengerikan pun akan terjadi. Untuk itu dibutuhkan aturan – aturan yang membatasi kelakuan setiap orang di jalanan agar tidak merugikan orang lain, salah satunya dengan mengeluarkan aturan tentang lalu lintas (Di Indonesia dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Jika hal ini diabaikan, pelanggarnya akan mendapat sanksi tergantung pada norma apa yang dilanggarnya.
Dari uraian di atas, kita dapat secara ringkas menyimpulkan bahwa kelahiran suatu norma tidak lain disebabkan keberadaan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Norma lahir karena adanya tuntutan untuk mengakomodir kebutuhan setiap individu dalam masyarakat dengan tidak merugikan individu lainnya. Norma lahir sebagai wujud dari kebutuhan manusia akan rasa aman dan rasa nyaman dalam memenuhi kebutuhan mereka. Dengan adanya norma, mereka tak lagi merasa khawatir kebutuhannya akan terlanggar oleh perilaku sewenang – wenang pihak – pihak tertentu. Pada akhirnya, setiap kebutuhan akan terpenuhi dengan mencukupi kebutuhan masing – masing individu dengan tidak melanggar kebutuhan individu lainnya. Hal inilah yang diharapkan dari lahirnya norma. Persoalannya, sudahkah norma – norma tersebut hidup dan mendarah daging dalam kehidupan sehari – hari kita? Jika tidak, jangan heran kalau masih ada kekacauan di masyarakat terkait dengan pemenuhan kebutuhan mereka.

Jumat, 18 Maret 2011

Mau nulis apa ya...? Hm... Lupa. He...

Ngomongin hukum nggak akan pernah ada habisnya. Kayak HP, tiap hari pasti aja ada model terbaru yang released ke tengah2 kita. Kayak gitu juga dengan hukum. Setiap hari, setiap detik malah, ada saja persoalan hukum di sekitar kita. Mulai bangun tidur ampe pules pun ada hukumnya. Ini yang bikin hukum nggak gampang dipelajari (selain ngomongin teori tentunya).

Sehubung saya juga sekolah di fakultas hukum + pengen banget ngenalin secuplik soal hukum, maka terciptalah blog ini dalam rangka menyalurkan ilmu yang saya miliki. Nggak usah khawatir soal biaya. It's free. Tulisan saya silahkan jadikan refensi kalo emang layak asalkan (KALO BISA DAN HARUS BISA. Heheheheh...) cantumkan juga blog ini sebagai daftar pustaka. Just it. Gampang kan? Ini posting perkenalan saya yang pertama. Tulisan soal hukum, apapun itu yang saya tahu, insya Allah akan saya posting segera. So, wait it!




NB: kalo ada kesalahan dlm tulisan saya, silahkan dikritik dengan cara yang santun. Anda sopan, kami segan. Thanks....